Sungguh senang saya melihat wakil rakyat berantem. Kesenangan ini berdasar pada dua hal. Pertama, para wakil itu telah dibayar mahal untuk pekerjaannya. Untuk mengirim mereka ke kursinya yang sekarang, rakyat telah lebih dahulu berantem, tombok, dan bertaruh jiwa raga. Jadi, soal berantem mestinya memang bukan urusan rakyat lagi, biar para wakilnya yang mewakili. Berantem di tingkat rakyat akan menelan lebih banyak ongkos. Berantem model perwakilan pasti lebih irit, lebih sedikit menelan korban.
Kedua, demi kepentingan rakyat, wakil rakyat memang harus berantem, bukan cuma secara ide, tetapi kalau perlu dalam pengertian sesungguhnya. Tak perlu risau pada anggapan apakah adu jotos adalah gambaran primitivisme, keliaran, dan kebelumdewasaan. Kepentingan rakyat tak cuma perlu dibela dengan berantem, kalau perlu dengan nyawa. Para wakil rakyat yang tidak berani mati demi rakyat tak perlu dipilih.
Untuk apa wakil rakyat terlihat rukun jika kerukunan itu tak bermanfaat bagi rakyat. Apa kita lupa bahwa ada jenis kerukunan yang manipulatif. Rukun untuk saling berdiam diri, untuk berkomplot demi kepentingan mereka sendiri. Kerukunan semacam itu tentu bukan hal baru. Kerukunan itulah yang membuat kerusakan hebat di tingkat bawah.
Wakil rakyat harus tidak pernah bulat dan mufakat, harus tidak sekata. Mengapa? karena, itu tidak mungkin. Kita sedang bicara tentang ratusan kepala manusia, ratusan ide, gagasan, watak, dan pikiran. Hanya orang gila yang mengharap ratusan kepala itu dapat sependapat. Rakyat malah harus curiga jika manusia sebanyak itu dengan gampang dapat berkata ya dan kompak berteriak setuju.
Lembaga itu akan menjadi kuat justru ketika terus berbeda, Gesekan akibat perbedaan memang sakit. Banyak orang tak siap menghadapinya. Akan tetapi, dalam rasa sakit itulah tersimpan kehati-hatian, ketakutan, dan keseimbangan. Jadi, pertengkaran itu sungguh sesuatu yang menyeimbangkan. Jangan kaget, keseimbangan itu malah sering bersembunyi pada suatu yang tampaknya gaduh, tidak bulat, dan tidak mufakat. Jangan pula kaget jika banyak ketidakseimbangan ngumpet di balik kerapian, keharmonisan, kerukunan, dan kebulatan tekad. Indonesia pernah menjadi salah satu contoh. Serba rapi, serba setuju, serba ya, lalu bangkrut.
Sekarang ini biarlah rakyat tidak berpolitik praktis, tidak gontok-gontokan hanya demi membela partai yang belum tentu ganti membelanya kalau dia bangkrut dan jatuh miskin. Rakyat harus beramai-ramai menjadi profesional. Rakyat yang profesional adalah rakyat yang sibuk berproduksi, mengurus kepentingannya sendiri, bukan kepentingan partai, bukan kepentingan orang-orang yang ingin berkuasa, tetapi langsung lupa diri jika ia telah benar-benar berkuasa itu.
Rakyat harus tidak gampang dikompori hanya untuk sekadar mati konyol dalam aneka kampanye dan demonstrasi jalanan. Untuk urusan politik termasuk tawurannya, serahkanlah pada wakil rakyat. Merekalah sesungguhnya pihak yang paling berhak melakukan itu semua, bukan rakyat, pihak yang selalu cuma diperalat dan dijadikan korban ini.
(priegs)
Untuk apa wakil rakyat terlihat rukun jika kerukunan itu tak bermanfaat bagi rakyat. Apa kita lupa bahwa ada jenis kerukunan yang manipulatif. Rukun untuk saling berdiam diri, untuk berkomplot demi kepentingan mereka sendiri. Kerukunan semacam itu tentu bukan hal baru. Kerukunan itulah yang membuat kerusakan hebat di tingkat bawah.
Wakil rakyat harus tidak pernah bulat dan mufakat, harus tidak sekata. Mengapa? karena, itu tidak mungkin. Kita sedang bicara tentang ratusan kepala manusia, ratusan ide, gagasan, watak, dan pikiran. Hanya orang gila yang mengharap ratusan kepala itu dapat sependapat. Rakyat malah harus curiga jika manusia sebanyak itu dengan gampang dapat berkata ya dan kompak berteriak setuju.
Lembaga itu akan menjadi kuat justru ketika terus berbeda, Gesekan akibat perbedaan memang sakit. Banyak orang tak siap menghadapinya. Akan tetapi, dalam rasa sakit itulah tersimpan kehati-hatian, ketakutan, dan keseimbangan. Jadi, pertengkaran itu sungguh sesuatu yang menyeimbangkan. Jangan kaget, keseimbangan itu malah sering bersembunyi pada suatu yang tampaknya gaduh, tidak bulat, dan tidak mufakat. Jangan pula kaget jika banyak ketidakseimbangan ngumpet di balik kerapian, keharmonisan, kerukunan, dan kebulatan tekad. Indonesia pernah menjadi salah satu contoh. Serba rapi, serba setuju, serba ya, lalu bangkrut.
Sekarang ini biarlah rakyat tidak berpolitik praktis, tidak gontok-gontokan hanya demi membela partai yang belum tentu ganti membelanya kalau dia bangkrut dan jatuh miskin. Rakyat harus beramai-ramai menjadi profesional. Rakyat yang profesional adalah rakyat yang sibuk berproduksi, mengurus kepentingannya sendiri, bukan kepentingan partai, bukan kepentingan orang-orang yang ingin berkuasa, tetapi langsung lupa diri jika ia telah benar-benar berkuasa itu.
Rakyat harus tidak gampang dikompori hanya untuk sekadar mati konyol dalam aneka kampanye dan demonstrasi jalanan. Untuk urusan politik termasuk tawurannya, serahkanlah pada wakil rakyat. Merekalah sesungguhnya pihak yang paling berhak melakukan itu semua, bukan rakyat, pihak yang selalu cuma diperalat dan dijadikan korban ini.
(priegs)
Komentar
Posting Komentar