Langsung ke konten utama

Kecoa Telentang

TIDAK MUDAH memecahkan dilema, meski untuk soal-soal sederhana. Ini karena definisi sederhana selalu berbeda antara yang satu dan lain kepala. Sesuatu yang sederhana bagimu, bisa saja adalah soal yang rumit bagiku. Misalnya saja soal bagaimana menghadapi kecoa.
Saya belum tahu untuk apa Tuhan menciptakan kecoa. Walau saya meyakini tak ada sesuatu pun yang diciptakan untuk sia-sia, tapi sejauh ini belum pernah saya dengar apa manfaat kecoa itu untuk kehidupan manusia. Para ilmuwan harus benar-benar menjawab pertanyaan orang-orang awam seperti saya ini.

Maka sementara menunggu jawaban itu datang, kedudukan binatang ini cuma dikastakan sebatas serangga penghuni kakus dan comberan. Maka ia adalah hewan, yang begitu keluar wilayahnya apalagi berani terbang ke tempat-tempat yang keliru seperti lantai kamar bahkan nekat nyelonong ke ruang makan, ganjarannya adalah kematian. Pendek kata, di luar kakus dan comberan, tak ada hak hidup bagi serangga ini karena ia cuma wakil dari kekotoran.

Begitulah yang ada benak kita. Dan pikiran serupa itulah yang kita turunkan ke anak-anak kita. Menganggap kecoa adalah musuh adalah konvensi yang telah kita tetapkan, untuk itulah kenapa racun serangga diciptakan, dengan kecoa menjadi salah satu sasaran tembaknya. Itulah kenapa ketika di kampung saya sedang berlangsung pemberantasan nyamuk demam berdarah, kami harus menghadapi peperangan ganda. Pengasapan yang sedianya cuma untuk membunuh nyamuk itu ternyata juga membuat sumpek para kecoa.

Tanpa dikomando, kecoa seantero kampung yang merasa gerah oleh pestisida itu keluar bersama-sama. Maka juga tanpa dikomando, seluruh warga kampung mulai dari bapak-apak, ibu-ibu dan anak-anak mereka, lupa akan nyamuk mereka, karena harus bertempur dengan musuh-musuh baru. Sapu, sandal, kipas, gulungan koran, pokoknya apa saja dikerahkan untuk menumpas kecoa yang tiba-tiba berterebaran bak laron disulut cahaya itu.

Perang yang sengit, brutal dan agak tidak bermutu. Karena sebetulnya para kecoa itu tidak pernah benar-benar berniat mengibarkan perang. Mereka hanya panik berterbangan, merayap-rayap dan bergelimpangan. Tapi bagi manusia yang telah menetapkan kedudukan kecoa sebagai musuh, bahkan serangga yang panik pun dikira menghina. Maka kepadanya bisa disabetkan sandal berkali-kali sampai lumat tak tersisa.

Apalagi ketika kecoa yang limbung itu berani terbang dan nyangkut di rambut ibu-ibu pula. Wuaaa, teriakan sang ibu ini langsung memekakkan seluruh desa. Campuran dari rasa kaget, marah dan jijik sungguh menghasilkan teriakan yang histerianya belum pernah saya dengar sebelumnya.

Tetapi anggaplah perang kepada kecoa jenis ini adalah jenis yang dimaklumkan. Karena selalu ada kejahatan yang harus diperangi, ada copet yang harus ditangkap, ada koruptor yang harus diadili ada unggas yang malah harus dibakar massal sepanjang mereka membawa virus berbahaya. Selalu ada konteks yang mudah untuk menetapkan pihak lain sebagai musuh. Tapi konteks yang saya hadapi ini adalah soal yang sulit, meskipun pelakunya adalah musuh.

Hari sedang cerah, rumah sedang besih, dan hati sedang gebira. Saya tidak sedang memusuhi dan dimusuhi oleh siapapapun. Kalaupun ada kecoa di dekat tempat saya duduk di sore itu, ia juga tidak sedang mengacau keadaan. Tapi ia adalah kecoa yang sendiri dan sengsara karena entah oleh sebab apa ia tengah telentang. Tanpa perlu menjadi ahli biologi, telentang adalah sikap yang sangat ditakuti kecoa. Meskipun ia meronta-ronta sampai kiamat tiba, pasti akan selalu gagal membalikkan tubuhnya. Kecoa itu pasti cuma bisa berontak samai ajal menjemputnya.

Saya menatapnya lama sekali. Menimbang-nimbang secermat yang saya bisa. Tak peduli siapan pihak yang di depan saya, jika ia tengah meregang nyawa, adalah pemandangan yang menyiksa. Maka dengan gentar, saya mengambil alat apa saja untuk mencowel kecoa ini agar kembali ke posisinya semula, untuk kemudian saya lari terbitrit-birit, karena betapapun, saya tak ingin serangga ini mengucapkan terimakasih dengan cara terbang ke rambut saya.
(priegs.blogspot.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PaidToClick (Klik Iklan Dapat Duit)

PaidToClick.In adalah situs penyelenggara program bisnis online gratis yang biasa dikenal dengan Paid To Click (PTC). Situs PaidToClick.in akan membayar Anda hanya untuk klik/lihat iklan selama kurang lebih 30 detik. Kelebihan situs PaidToClick.in ini adalah jumlah iklan yang bisa diklik sebanyak hingga 60 iklan per hari dan nilai minimum PayOut (menarik komisi) juga sangat kecil yaitu hanya $ 0.02 untuk member standar dan $ 0.00 untuk member upgrade, jadi PayOut bisa 2 (dua) hari sekali untuk member standar dan setiap hari untuk member upgrade. Pembayaran komisi melalui AlertPay dan PayPal dalam waktu kurang dari 24 jam, namun sebaiknya gunakan PayPal saja karena jika menggunakan AlertPay baru bisa PayOut setelah saldo minimum $ 1, jika dengan PayPal hanya butuh saldo minimal $ 0.02. Jika Anda belum punya PayPal, silahkan baca Cara Membuat Rekening PayPal-100% Gratis ini sebagai panduan. Adapun Cara Daftar dan Menghasilkan Uang dari Situs PaidToClick.In adalah sebagai berikut:

Posisi Anda Didepan Allah

“Kang…, bisa nggak kita mengetahui, kedudukan kita saat ini di depan Allah?” Tanya Dulkamdi kepada Kang Saleh. Kang Saleh hanya menghela nafas panjang. Ia pandangi sahabatnya itu lama sekali, sampai Dulkamdi kelihatan tidak enak, khawatir menyinggung Kang Saleh, atau jangan-jangan pertanyaan itu sudah masuk kedaerah rawan. Dan, cess. Airmata Kang Saleh tumpah di pipinya. Dulkamdi semakin merasakan tidak enak dibenaknya. Rasanya ingin segera pergi dari kedai itu. Tapi Pardi tiba-tiba datang, tanpa basa-basi meminta sisa kopi Dulkamdi yang tinggal seperempat cangkir. “Dul. Kita sudah lama tidak bersenang-senang. Kalau sesekali kita menuruti hawa nafsu kita, apakah nggak boleh Dul, ya?” Dulkamdi justru terdiam. Ia injak telapak kaki Pardi, memberi tanda, bahwa suasananya kurang pas bicara seperti itu. Dan Pardi jadi paham, ketika memandang Kang Saleh, yang matanya masih basah. Dua sahabat itu jadi clingukan. Tiba-tiba suara Kang Saleh terasa parau, usai Pardi bicara seperti itu.