Marilah kita berdoa untuk dilindungi dari penyakit lupa. Tidak ada yang keliru dari seorang yang terlupa, maka mari kita percaya bahwa kepada lupa pasti tidak dibebankan dosa. Tapi berdosa atau tidak, lupa adalah penyakit berbahaya karena risiko yang ditimbulkannya. Ada begitu banyak persoalan hidup yang menjadi begitu buruk keadaannya cuma karena lupa.
Seseorang yang lupa membawa kunci mobilnya tetapi sudah keburu mengunci pintunya, sering harus mengalami soal-soal dramatis yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seluruh acara penting seharian bisa rusak berantakan. Rencana pertemuan bisnis, makan siang dengan keluarga atau menjamu kolega, bisa cuma digantikan dengan sekadar muter-muter mencari tukang kunci.
Seseorang yang ke kantor, suami-istri yang sama-sama bekerja, amat sering menderita lupa jenis ini: ia pergi sambil masih meninggalkan api. Di rumah kompor lupa dimatikan. Ada pasangan yang sama-sama pelupanya, sehingga tabiatnya telah dihafali tetangga. Jika ia berangkat dengan buru-buru dan kembali lagi dengan buru-buru itulah tanda bahwa kompornya masih menyala.
Tapi berangkat untuk kembali lagi untuk kompor yang belum mati ini cuma salah satu skenario dari kita yang punya penyakit serupa. Skenario kedua bisa berupa cukup hanya dengan telepon tetangga. Maka ada seorang tetangga, yang jika teleponnya berdering di jam-jam berangkat kerja, si pengangkat telepon sudah menduga. ''Ini pasti soal kompor lagi!'' katanya. Kadang-kadang ia mengangkat teleponnya sambil geli, kadang tulus, tetapi akhirnya jengkel juga jika kasusnya telah lebih dari dua kali.
Ada pula skenario ketiga, yakni datang dari keluarga pelupa, tetapi perasaannya peka luar biasa. Meskipun kompornya masih menyala dan ia sudah sampai di tempat kerja, ia tetap teguh, ingin pulang sudah tak memungkinan karena kemacetan jalan raya yang begitu jauhnya, untuk menelpon teangga hatinya tak tega. Takut merepotkan. Pilihan sikap semacam ini akhirnya beruntut dua skenario lagi; pertama kompor itu akan mati sendiri karena kehabisan gas, kedua, sebelum gas itu habis, rumahnya lah yang keburu habis.
Seorang lain lagi, yang dalam kelompok pergaulan telah diperlakukan sebagai juragan, sedang bepergian dengan dia menanggung seluruh biaya makan. Sebagai seorang penraktir, ia punya kekuasaan. Serba percaya diri dalam kedudukannya sebagai pemberi. Tetapi segalanya berubah, ketika ia sadar dompetnya ketinggalan. Ia yang berkuasa, tiba-tiba menjadi pihak paling kikir di kelompoknya. Dan betapa menyakitkan, ketika dari seorang juragan akhirnya cuma menjadi tanggungan orang semula cuma para figuran.
Itulah bahaya lupa. Lupa untuk soal-soal yang tampaknya remeh, tetapi betapa dramatik akibatnya, termasuk kelupaan si kawan saya ini, ketika tanpa sadar resluitingnya masih terbuka. Saya melihatnya sejak dari kejauhan. Tepatnya tidak cuma saya, melainkan seluruh orang yang ada di sekitar saya, yang malangnya lengkap ragamnya, ada kelompok bapak, ada kelompok ibu.
Malang yang kedua, ia datang dari jurusan yang keliru, sepi dan sendiri, dan berjalan menuju ke pusat gerombolan. Ia seperti jagoan yang melangkah tenang ke sekumpulan gangster yang meskipun banyak jumlahnya, tapi hanya akan ketakutan kepadanya. Jadi seluruh mata sedang melihat sang jagoan yang percaya diri, tetapi dengan resluiting menganga. Kesialan lanjutannya, lubang celana itu begitu jelasnya, karena ia adalah bapak-bapak yang rapi, yang selalu memasukkan bajunya ke celana.
Kesialan seterusnya, ia cuma punya saya yang dikenalnya. Ia tak mengenal orang banyak itu, termasuk ibu-ibu yang sudah mulai menahan tawa dan merah padam atas bukaan celananya. Beban berat terletak di pundak saya, karena martabat sahabat saya ini tergantung pada apa keputusan saya. Jika saya mengingatkan kelalaiannya langsung di saat itu juga, ia pasti akan bunuh dari karena malu tak terkira. Tapi jika ia saya diamkan saja, saya akan menjadi orang jahat yang membiarkan aib saudara.
Saya dilanda konflik batin yang hebat. Sebuah konflik yang saya redam hingga kini. Saya tetap mengajak rekan ini berbincang seolah-olah tak ada apa-apa. Berbincang sambil berdiri, menyangkut soal politik, soal negara dan nasib bangsa. Sok sekali perbincangan kami ini. Bukan karena kami benar-benar hendak mengurus negara, melainkan agar gerombolan di sekitar kami ini muak lalu membubarkan diri.
Sampai njontor bibir saya memperpanjang perbincangan sampai orang-orang itu akhirnya bernar-benar bubar. Hari itu menjadi hari paling melelahkan dalam hidup saya demi membuat ketentraman sesama. Seseorang yang harus dibiarkan untuk tidak menyadari, kalau perlu sampai ajal menjemputnya, betapa ia telah menjadi sumber tertawaan diam-diam. Rasanya memang ada jenis kenyataan, yang tak perlu dibeberkan, demi sebuah ketentraman.
(priegs.blogspot.com)
Seseorang yang ke kantor, suami-istri yang sama-sama bekerja, amat sering menderita lupa jenis ini: ia pergi sambil masih meninggalkan api. Di rumah kompor lupa dimatikan. Ada pasangan yang sama-sama pelupanya, sehingga tabiatnya telah dihafali tetangga. Jika ia berangkat dengan buru-buru dan kembali lagi dengan buru-buru itulah tanda bahwa kompornya masih menyala.
Tapi berangkat untuk kembali lagi untuk kompor yang belum mati ini cuma salah satu skenario dari kita yang punya penyakit serupa. Skenario kedua bisa berupa cukup hanya dengan telepon tetangga. Maka ada seorang tetangga, yang jika teleponnya berdering di jam-jam berangkat kerja, si pengangkat telepon sudah menduga. ''Ini pasti soal kompor lagi!'' katanya. Kadang-kadang ia mengangkat teleponnya sambil geli, kadang tulus, tetapi akhirnya jengkel juga jika kasusnya telah lebih dari dua kali.
Ada pula skenario ketiga, yakni datang dari keluarga pelupa, tetapi perasaannya peka luar biasa. Meskipun kompornya masih menyala dan ia sudah sampai di tempat kerja, ia tetap teguh, ingin pulang sudah tak memungkinan karena kemacetan jalan raya yang begitu jauhnya, untuk menelpon teangga hatinya tak tega. Takut merepotkan. Pilihan sikap semacam ini akhirnya beruntut dua skenario lagi; pertama kompor itu akan mati sendiri karena kehabisan gas, kedua, sebelum gas itu habis, rumahnya lah yang keburu habis.
Seorang lain lagi, yang dalam kelompok pergaulan telah diperlakukan sebagai juragan, sedang bepergian dengan dia menanggung seluruh biaya makan. Sebagai seorang penraktir, ia punya kekuasaan. Serba percaya diri dalam kedudukannya sebagai pemberi. Tetapi segalanya berubah, ketika ia sadar dompetnya ketinggalan. Ia yang berkuasa, tiba-tiba menjadi pihak paling kikir di kelompoknya. Dan betapa menyakitkan, ketika dari seorang juragan akhirnya cuma menjadi tanggungan orang semula cuma para figuran.
Itulah bahaya lupa. Lupa untuk soal-soal yang tampaknya remeh, tetapi betapa dramatik akibatnya, termasuk kelupaan si kawan saya ini, ketika tanpa sadar resluitingnya masih terbuka. Saya melihatnya sejak dari kejauhan. Tepatnya tidak cuma saya, melainkan seluruh orang yang ada di sekitar saya, yang malangnya lengkap ragamnya, ada kelompok bapak, ada kelompok ibu.
Malang yang kedua, ia datang dari jurusan yang keliru, sepi dan sendiri, dan berjalan menuju ke pusat gerombolan. Ia seperti jagoan yang melangkah tenang ke sekumpulan gangster yang meskipun banyak jumlahnya, tapi hanya akan ketakutan kepadanya. Jadi seluruh mata sedang melihat sang jagoan yang percaya diri, tetapi dengan resluiting menganga. Kesialan lanjutannya, lubang celana itu begitu jelasnya, karena ia adalah bapak-bapak yang rapi, yang selalu memasukkan bajunya ke celana.
Kesialan seterusnya, ia cuma punya saya yang dikenalnya. Ia tak mengenal orang banyak itu, termasuk ibu-ibu yang sudah mulai menahan tawa dan merah padam atas bukaan celananya. Beban berat terletak di pundak saya, karena martabat sahabat saya ini tergantung pada apa keputusan saya. Jika saya mengingatkan kelalaiannya langsung di saat itu juga, ia pasti akan bunuh dari karena malu tak terkira. Tapi jika ia saya diamkan saja, saya akan menjadi orang jahat yang membiarkan aib saudara.
Saya dilanda konflik batin yang hebat. Sebuah konflik yang saya redam hingga kini. Saya tetap mengajak rekan ini berbincang seolah-olah tak ada apa-apa. Berbincang sambil berdiri, menyangkut soal politik, soal negara dan nasib bangsa. Sok sekali perbincangan kami ini. Bukan karena kami benar-benar hendak mengurus negara, melainkan agar gerombolan di sekitar kami ini muak lalu membubarkan diri.
Sampai njontor bibir saya memperpanjang perbincangan sampai orang-orang itu akhirnya bernar-benar bubar. Hari itu menjadi hari paling melelahkan dalam hidup saya demi membuat ketentraman sesama. Seseorang yang harus dibiarkan untuk tidak menyadari, kalau perlu sampai ajal menjemputnya, betapa ia telah menjadi sumber tertawaan diam-diam. Rasanya memang ada jenis kenyataan, yang tak perlu dibeberkan, demi sebuah ketentraman.
(priegs.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar